Menjadi Wanita Karir atau Ibu Rumah Tangga?
Perempuan pada hakikatnya memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka terlepas dari bagaimana dan apa pilihan yang akan dituju nantinya. Namun, yang sering menjadi problematika adalah ketika perempuan berani mengambil keputusan, masyarakat masih terjebak pada perdebatan usang yaitu memperdebatkan pekerjaan mana yang lebih mulia bagi perempuan? Menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga?
Dilansir dari Katadata, laporan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Berangkat dari hal tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa tidak sedikit perempuan yang menjajaki tekad besar dengan melanjutkan pendidikan dan menempuh karir lebih jauh hingga berada pada puncak tertinggi suatu organisasi.
Perempuan memiliki spektrum yang sangat luas dalam mengambil langkah ke depan, yang bisa diakses melalui banyak cara. Sayangnya, perempuan selalu dihadapkan pada persimpangan jalan terkait ketetapan-ketetapan dalam hidup seorang perempuan. Seolah-olah, setiap batu lompatan yang perempuan ambil sangat terbatas dan tidak pernah tepat. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya perdebatan dan stereotip masyarakat terkait wanita karir dan ibu rumah tangga. Seringkali kita mendengar stereotip bahwa ibu rumah tangga dicap tidak berpendidikan dan wanita karir dicap tidak peduli sama anak.
Permasalahan muncul dan berputar dalam memilih pilihan hidup yang lebih baik, mana pilihan hidup yang lebih mulia, hingga mana pilihan hidup yang memiliki derajat lebih tinggi. Pertentangan tentang menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga diiringi dengan pendapat-pendapat subjektif dan seringkali menjatuhkan satu sama lain. Mirisnya, penyulut api perseteruan tersebut tidak sedikit yang datang dari perempuan sendiri.
Wanita karir dilabeli sebagai perempuan independen yang berdikari, mandiri, dan penuh kebebasan karena mampu menghasilkan pendapatan sesuai kehendak. Namun, ibarat belati bermata dua, perempuan juga dinilai buta terhadap urusan rumah tangga, cenderung tidak peduli dengan keluarga, dianggap tidak paham cara mendidik anak, perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi, dan hanya berorientasi pada kesejahteraan hidupnya saja.
Padahal, perempuan bisa menjadi wanita karir, ibu rumah tangga, keduanya, atau bahkan tidak keduanya. Semua sebenarnya tergantung dengan pilihan hidup yang kita ambil. Namun sayangnya, stigma negatif terhadap perempuan terlalu banyak sehingga pilihan yang kita pilih pun sebagai perempuan seringkali diremehkan.
Demikian pula yang terjadi pada ibu rumah tangga, perempuan dipandang sebagai perempuan yang penuh pengorbanan untuk suami dan anak. Namun, di saat yang bersamaan dinilai bersembunyi di balik pasangannya alias bergantung, tidak memiliki hidup sendiri dan masa depan, serba ketergantungan, hingga dipandang tidak berpendidikan. Bahkan, tidak jarang peran ibu rumah tangga disamakan dengan asisten rumah tangga (ART).
Kemudian, menggarisbawahi dua stereotip di atas, pertanyaan paling dasar yang lantas muncul, “Apakah kehidupan perempuan adalah tempurung kura-kura yang hanya memiliki dua alternatif hidup saja?” Tidak, perempuan tidak perlu memilih di antara kedua opsi tersebut. Perempuan berhak menjadi wanita karir, ibu rumah tangga, keduanya, atau bahkan tidak keduanya. Kebebasan perempuan tidak bisa dikotak-kotakkan begitu saja karena perempuan multiperan.
Ibu rumah tangga juga melakukan pekerjaan sesuai perannya. Begitu pun dengan wanita karir yang melakukan pekerjaan sesuai dengan jabatannya. Tidak bisa dibandingkan, tidak bisa dianggap mana yang lebih baik. Karena keduanya pilihan, dan keduanya baik.
Keputusan hidup perempuan tidak ada yang lebih baik karena menjadi wanita karir maupun ibu rumah tangga bukanlah cabang olahraga Olympic yang harus dijadikan kompetisi. Baik atau tidaknya pilihan hidup, pada akhirnya hanya akan dirasakan oleh masing-masing orang dalam bentuk tanggung jawab dan bukan karena adanya perbedaan derajat dalam pilihan sehingga memutuskan pilihan hidup tanpa perlu dihantui stigma adalah hak perempuan.
Pandangan terhadap perempuan sebagai kelompok marginal yang hanya boleh merangkak dalam dapur, sumur, dan kasur sejatinya perlahan terkikis. Konsep tentang perempuan sebagai strata kedua tidak lagi relevan dengan digalakkannya narasi terkait kesetaraan, meskipun hingga sekarang dorongan kepada kesetaraan masih terus diperjuangkan. Memang ada serigala dalam diri setiap perempuan, tetapi jangan sampai serigala itu mengoyak daging serigala lain.
Salah satu kebingungan yang dialami perempuan adalah memilih untuk menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga. Mana yang lebih baik? Mana yang lebih bervalue? Mana yang lebih menguntungkan? Sebenarnya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan terlepas dari stigma sekitar. Mulai dari kebutuhan, prioritas, hingga kesepakatan dengan pasangan. Tidak ada yang lebih baik. Keduanya baik. Keduanya bervalue.
Memilih Menjadi Wanita Karir.
Hidup di zaman sekarang banyak orang yang tak lagi mempersoalkan gender, kenyataannya hal ini masih menjadi perbincangan aktual. Apalagi soal peluang wanita yang sudah berkeluarga untuk bisa sukses berkarir atau lebih sukses dari pasangannya.
Faktanya, baik pria maupun wanita memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dan kemudian melanjutkan ke jenjang karir. Biasanya, pria diwajibkan berkarir untuk menjadi tulang punggung keluarga. Sementara itu, perempuan harus membuat keputusan terlebih dulu setelah menikah atau setelah memiliki anak. Biasanya, laki-laki diwajibkan berkarir untuk menjadi tulang punggung keluarga. Sementara itu, perempuan harus membuat keputusan terlebih dulu setelah menikah atau setelah memiliki anak.
Ketika sudah memutuskan menjadi wanita karir, meskipun sudah berkeluarga dan memiliki anak, pasti banyak pertimbangan yang sudah dilalui. Jika perempuan memilih untuk tetap bekerja, pastinya mereka dapat membantu perekonomian sehingga kebutuhan keluarga dapat dipenuhi dengan baik. Selain itu, seorang perempuan dapat terus mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat terus bermanfaat bagi orang sekitar.
Namun, ketika memilih keputusan ini, biasanya waktu untuk keluarga menjadi sedikit terkorbankan. Sebab, pekerjaan professional biasanya membutuhkan begitu banyak tanggung jawab dan perhatian. Akan tetapi, hal ini kembali pada prioritas dan manajemen waktu. Jika menempatkan keluarga sebagai prioritas utama, mereka pasti dapat mengatur porsi waktu yang sesuai untuk keluarga ataupun pekerjaan.
Memilih Menjadi Ibu Rumah Tangga.
Menjadi ibu rumah tangga juga memiliki tantangan tersendiri. Pekerjaan ibu rumah tangga berbeda dengan pekerja kantoran yang memiliki jam kerja dan umumnya tidak bisa diganggu jika berada di luar jam tersebut.
Ibu rumah tangga harus terus siap sedia 24 jam selama 7 hari dalam seminggu. Ibu juga harus mengontrol emosi dengan baik agar dapat menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik. Terkadang, ibu rumah tangga lebih mengutamakan kepentingan keluarga dibandingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang ibu untuk memiliki support system yang baik. Dengan demikian, mereka dapat menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan optimal.
Kerja sama dengan suami juga sangat diperlukan, sehingga seorang ibu rumah tangga bisa tetap memiliki me time yang berkualitas untuk dapat menjalankan perannya.
Lalu, mana yang lebih baik, melanjutkan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga? Dilema akan hal tersebut tampaknya tak akan pernah usai. Ketika menjadi seorang perempuan, yang paling bijak memang tetap memprioritaskan pekerjaan sebagai ibu dan menomorduakan pekerjaan di luar itu.
Untuk perempuan yang memutuskan tetap berkarir dibanding menjadi full-time mom, keputusan itu juga tidak salah. Menjadi ibu bekerja juga mengasyikkan dan penuh tantangan!
Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda dan membutuhkan perencanaan tepat. Bagi beberapa orang, banyak hal yang harus dipertimbangkan, khususnya bersama pasangan.
Berikut beberapa pertimbangan yang harus dibicarakan dan disepakati bersama suami:
1. Tujuan Berkarir
Apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan tambahan penghasilan, maka berkarir adalah salah satu alternatif untuk stabilitas perekonomian rumah tangga. Coba pertimbangkan dulu potensi penghasilan yang didapat dan apakah hal tersebut setimpal dengan waktu yang dipakai untuk bekerja.
Akan lebih baik jika waktu bekerja tersebut masih bisa digunakan untuk melakukan tugas harian sebagai ibu rumah tangga. Misalnya, untuk menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, dan menyiapkan makan malam.
Jika tujuan berkarir lebih kepada idealisme mengembangkan talenta atau meraih cita-cita, kita harus berhati-hati agar tidak terlalu larut dalam obsesi. Pada akhirnya, tugas utama kita sebagai seorang ibu sebaiknya bisa tetap terpenuhi.
Jika tercipta keseimbangan antara karir dan mengurus keluarga, ibu bekerja dapat menjadi panutan bagi anak, khususnya pandangan bahwa wanita tak selalu berada di posisi inferior.
2. Kepala Keluarga
Dampak yang terjadi saat karir ibu lebih berhasil dibandingkan suami adalah terdapat dua dominasi di dalam keluarga. Hal ini dapat menjadi potensi perpecahan di dalam keluarga.
Hadirnya anak dapat memperparah kondisi ini. Oleh karena itu, pembagian tanggung jawab harus jelas dan dilakukan secara konsisten.
3. Waktu
Salah satu hal yang sulit dilakukan adalah membagi waktu. Kesibukan kita dalam bekerja akan membuat kita kesulitan dalam menghabiskan waktu bersama anak.
Siapa yang menemani anak belajar? Siapa yang belanja bulanan? Siapa yang akan menyiapkan makan malam? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi akan terus terulang.
Tak hanya itu, menentukan waktu liburan keluarga pun menjadi lebih sulit karena harus saling menyesuaikan jadwal cuti. Untuk menghindari konflik, sebaiknya pembagian waktu ini harus disepakati sejak awal dan tak lupa bersiap-siap jika ada kondisi yang mengharuskan kita atau pasangan mengalah.
4. Rekan Kerja
Ibu yang bekerja tentu akan memiliki rekan kerja, baik sesama jenis maupun lawan jenis. Interaksi yang terjadi tak hanya di dalam, tetapi juga di luar kantor.
Lazimnya, akan selalu ada sahabat akrab yang pastinya terasa menyenangkan karena menghadirkan suasana baru. Nah, membagi keseimbangan antara pekerjaan, sosialisasi dengan rekan kerja, dan keluarga akan menjadi masalah yang harus diantisipasi.
Tetapkan prioritas bersama pasangan. Jika pasangan merupakan pribadi pencemburu, sebaiknya seorang perempuan berhati-hati untuk tidak melanggar batas yang nantinya dapat memunculkan konflik yang tidak perlu.
Jadi, tak ada yang lebih salah atau lebih benar antara menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga. Tapi tentu saja keduanya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kesepakatan dengan pasangan.
Ada satu hal lagi yang harus dimiliki dan dijaga baik oleh ibu rumah tangga maupun wanita karir yaitu sebagai penopang kesehatan keluarga, keduanya harus sama-sama memprioritaskan kesehatan keluarga tanpa menomorduakan kesehatan dirinya.
Cara-cara yang bisa dilakukan adalah dengan memiliki pola pikir dan pola hidup sehat. Imbangi juga dengan pola gerak tubuh yang cukup sebagai amunisi untuk menghindari penyakit-penyakit akibat kolesterol tinggi seperti jantung koroner dan stroke.
Laki-laki memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami peningkatan kadar kolesterol yang berlebih dan penyakit jantung koroner dibandingkan perempuan. Hal itu karena perempuan memiliki hormon estrogen yang punya fungsi protektif untuk menurunkan kolesterol jahat (LDL) dan meningkatkan kolesterol baik (HDL). Meski demikian, tidak berarti bahwa perempuan terbebas dari risiko tersebut.
Faktanya, setelah mengalami menopause yang menyebabkan penurunan produksi hormon estrogen, perempuan akan kehilangan manfaat tersebut. Risiko naiknya kadar kolesterol jahat dan penyakit jantung koroner juga dapat meningkat jika perempuan kurang aktif dan menjalani gaya hidup sedenter.
Oleh sebab itu, terlepas dari pilihan untuk berkarir atau menjalani keseharian sebagai ibu rumah tangga, perempuan harus tetap aktif setiap harinya. Terapkan pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan bergizi dan mengandung plant stanol ester untuk menurunkan kadar kolesterol.
Baik menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, keduanya memiliki konsekuensi dan tantangannya masing-masing. Apa pun pilihan seorang perempuan, pastikan untuk melibatkan pasangan sebelum membuat keputusan yang terbaik untuk keluarga.